Melepas Belenggu Taklid dan Fanatisme

Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) Kami di segenap ufuk dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah bagi mereka bahwa Al-Qur’an itu adalah benar”. (Fusshilat: 53)

Dr. Muhammad Abdullah As-Syarqawi mengomentari ayat di atas dengan mengatakan bahwa sesungguhnya Allah Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, di dalam Al-Qur’an telah mendorong akal manusia agar senantiasa memperhatikan, berpikir, serta merenung agar akal dan kalbunya merasa puas terhadap aspek ketuhanan, risalah dan kebangkitan.

Sungguh anugerah terbesar Allah kepada umat manusia adalah akal. Jika potensi ini tidak difungsikan atau difungsikan tidak maksimal, maka akan melahirkan sikap jumud yang membawa kepada taklid dan fanatisme buta. Justru Islam datang membawa prinsip keseimbangan (washathiyyah) setelah ideologi sebelumnya sangat kental dengan jumud dan fanatisme. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang wasath (adil, pilihan, seimbang)”. (Al-Baqarah: 143)

Tindakan mengabaikan anugerah akal bisa menjerumuskan seseorang ke dalam siksa Allah seperti yang disaksikan sendiri oleh para penghuni neraka ketika mereka menyesali sikapnya dengan mengatakan, “Sekiranya kami mau mendengarkan atau menggunakan akal pikiran, niscaya kami tidak termasuk penghuni neraka yang menyala-nyala.” (Al-Mulk: 10)

Untuk keluar dari jebakan taklid buta, umat Islam dituntut untuk berani melakukan “ijtihad” sebagai salah satu pilar tegaknya syariat dalam kehidupan manusia. Ketertinggalan umat Islam dari hakikat agama dan persoalan dunia, tiada lain karena ketertutupan akal mereka yang hanya cukup dengan apa yang mereka terima secara turun temurun (taklid buta). “Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari nenek moyang kami, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun dan tidak mendapat petunjuk”. (Al-Baqarah: 170)

Di dalam ayat lain, Allah mencela sikap taklid buta dengan menjelaskan keterlibatan syaitan yang membelenggu manusia untuk tetap bersikap jumud dan mengedepankan fanatisme. ““Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”, mereka menjawab, “(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya”. Apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa apai yang menyala-nyala”. (Luqman: 21)

Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi mengingatkan bahwa jati diri umat Islam sekarang ini telah hilang; ciri-ciri peradabannya telah cerai berai dan terlupakan. Saat ini umat Islam hidup di bawah kekuasaan peradaban asing dengan segala aspek negatif dan penyimpangannya. Bahkan, justru kita menemukan bahwa ketundukan umat Islam terhadap kekuasaan peradaban asing adalah lebih besar daripada ketundukan orang-orang Barat sendiri selaku pemilik sekaligus pewaris peradaban tersebut. Ini berarti, bangunan masyarakat Islam saat ini telah miring, pilar-pilarnya telah condong ke bawah dan tidak mampu lagi berdiri tegak. Dalam kondisi labil seperti ini, umat Islam dituntut untuk melepaskan belenggu taklid buta dan sikap ikut-ikutan.

Dengan ijtihad, Allah hendak memberikan karunia kepada hamba-Nya, agar aktifitas ibadah yang mereka lakukan didasarkan kepada pemahaman (ijtihad), sebagaimana Allah mewajibkan jihad agar para hambanya yang shalih menjadi para syuhada. Apabila keutamaan mujahid adalah karena darah yang tercurah di medan perang, maka keutamaan para mujtahid adalah karena mereka mengerahkan segenap kesungguhan di dalam menggali hukum dalam rangka meninggikan kalimatullah.

Di sini, Allah telah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad (dalam pengertian secara bahasa yakni bersungguh-sungguh) dan menguji ketaatan mereka di dalam lingkup persoalan ijtihad, sebagaimana ketaatan mereka diuji dalam persoalan-persoalan lainnya. Allah berfirman, “Dan sesungguhnya Kami benar-benar akam menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar diantara kamu; dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. (Muhammad: 31)

Dalam pandangan Dr. Wahbah Zuhaili, ijtihadlah yang akan menghidupkan kembali syariat di atas muka bumi Allah ini. Syariat tidak akan bisa bertahan selama aktifitas ijtihad tidak hidup, tidak memiliki daya kerja dan daya gerak. Sebab berbagai faktor pertumbuhan dan perkembangan kehidupan serta pentingnya penyebaran syariat Islam ke seluruh pelosok dunia meniscayakan kebutuhan akan ijtihad, terutama di masa kita sekarang ini, masa yang serba instan, komplek, serta penuh dengan tantangan peristiwa dan permasalahan baru. Sehingga tanpa ijtihad dan melepaskan belenggu taklid buta, syariat Islam akan kehilangan relevansinya di setiap zaman dan tempat. Ia akan membuat manusia merasa sempit dengan kehadirannya dan akan menimbulkan kekeliruan di dalam memandang agamanya. Padahal ijtihad merupakan salah satu karakteristik syariat Islam yang tidak akan tertutup pintunya sampai hari kiamat. Di sinilah bukti rahmat Islam yang akan membebaskan umatnya dari kesempitan. Allah menegaskan, “Dia tidak menjadikan di dalam agama ini suatu kesempitan bagi kalian”.(Al-Hajj: 78)

Mencermati realitas umat Islam dewasa ini yang semakin terpuruk dan tertinggal, maka karya nyata, kreativitas, ijtihad yang segar sangat ditunggu-tunggu untuk mengembalikan umat kepada kejayaannya yang gilang-gemilang dengan tetap komitmen dengan ajaran Islam yang komprehensif. Wallahu A’lam

By. Dakwatuna.Com

Jangan Taqlid Buta

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (QS 17: 36)

Ayat di atas mengingatkan kita agar tidak beramal kecuali telah menguasai ilmunya. Disamping itu juga mendorong kita untuk memanfaatkan instrument pendengaran, penglihatan dan hati untuk menuntut ilmu. Kalau kita tidak memanfaatkannya maka kita akan celaka nanti ketika dimintai pertanggung-jawaban atas potensi yang diberikan Allah kepada kita itu. Apalagi Allah juga telah memberi peringatan kepada kita semua, bahwa orang yang tidak memanfaatkan pendengaran, penglihatan dan hatinya akan menjadi isi neraka Jahannam. Mereka dinilai Allah seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi (QS 7: 179).

Allah memberitakan bahwa di antara ahli kitab itu banyak yang ummi tidak mengetahui isi Taurat kecuali dongeng bohong belaka (QS 2: 78). Mereka hanya mengikuti begitu saja apa yang diajarkan dan dikisahkan oleh para pendeta mereka meskipun tanpa dasar yang benar dari kitab mereka. Kebanyakan mereka tidak mempelajari kitabnya sendiri, sehingga setelah berlalu masa yang panjang dari masa kenabian tidak mendapatkan peringatan dari para nabi, hati mereka menjadi keras, susah diperingatkan dengan kebenaran Al Qur'an (QS 57: 16).

Meskipun menerima kitab tetapi mereka tidak memahami dan tidak beramal dengan kitabnya. Allah memberikan julukan kepada mereka sebagai keledai yang memikul kitab-kitab tebal (QS 62: 5). Karena tidak mengerti kitab, maka ketika pendeta mereka menyampaikan kebohongan mereka tidak mampu mengoreksinya. Bahkan ketika pendeta menghibur bahwa mereka hanya akan tinggal di neraka beberapa hari saja, orang awam di antara para ahli kitab itu mengiyakan saja. Sampai-sampai karena terlalu bodohnya, mereka terjebak ke dalam kultus individu, menuhankan Uzair dan Isa Al Masih putra Maryam (QS 9: 30). Lebih dari itu, apa saja yang dihalalkan oleh para pendeta, mereka menghalalkannya dan apa yang diharamkan oleh pendeta, mereka mengharamkannya juga, meskipun tidak sesuai dengan kitab suci mereka. Sehingga Allah telah memberikan penilaian bahwa mereka telah menuhankan orang alim dan pendeta mereka (QS 9: 31).

Apa yang telah diamalkan oleh para ahli kitab itu ternyata juga diamalkan oleh kebanyakan orang Islam saat ini. Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw telah memperingatkan bahwa umat Islam akan mengikuti orang Yahudi dan Nasrani sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Bahkan ketika mereka masuk ke dalam lobang biawakpun umat Islam akan mengikutinya juga. Sebagian besar umat Islam saat ini tidak mengerti tentang Islam, tidak mengerti tentang Qur'an dan Sunnah. Kebanyakan mereka beramal karena taqlid buta. Mengikuti ajaran para kyai, nenek moyang, dan pemimpin mereka. Mereka banyak mengamalkan tradisi yang telah diamalkan secara turun temurun oleh nenek moyang mereka, meskipun tidak ada sumbernya dari Al Qur'an dan As Sunnah sama sekali. Ketika amalan mereka dicocokkan dengan Al Qur'an dan As Sunnah mereka terbelalak karena perbedaan yang telak. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang ruju' kepada kebenaran, namun sebagian besar menolaknya. Bahkan ada yang tidak hanya menolak kebenaran, namun saling bersekongkol memusuhi orang yang hendak bertaubat, kembali kepada kebenaran.

Sayang sekali meskipun sebagian besar umat Islam belum faham akan ajaran agamanya yang benar, namun ketika mereka diajak untuk mempelajari islam lewat pengajian-pengajian mereka juga tetap malas. Sebagian merasa tidak penting mempelajari agamanya. Mereka lebih mencintai kenikmatan hidup dunia daripada bersusah-susah mempelajari agama. Sebagian merasa bahwa pengetahuan mereka tentang Islam sudah mencukupi. Padahal Allah memberitakan bahwa ilmu-Nya (kalimat-Nya) tidak akan habis meskipun ditulis dengan tinta sebanyak 8 laut. Sebagian lain merasa tidak perlu mempelajari sendiri. Mereka menyerahkan kepada para ulama untuk mempelajari Islam dan merasa cukup bertaqlid kepada mereka. Para kyai mereka mengatakan bahwa taqlid itu wajib. Alasannya orang awam itu bodoh, sehingga mereka wajib taqlid kepada orang pintar (ulama). Kata-kata indah yang menarik hati seperti ini telah banyak menyesatkan orang. Mestinya sebagai ulama mereka berusaha semaksimalnya untuk membuat umatnya pandai, memahami Al Qur'an dan As Sunnah sehingga mampu menentukan mana yang benar dan mana yang salah. Tidak malah membiarkan mereka tetap bodoh dan terus berbuat taqlid buta.

Saudaraku, hanya manusia di antara seluruh makhluk-Nya di alam semesta ini yang dianugerahi akal. Akal ini memiliki kemampuan yang amat dahsyat, sehingga manusia yang tidak punya sayap sekalipun dapat terbang lebih jauh dan lebih tinggi dari burung. Meskipun mereka tidak punya insang, tetapi dapat menyelam lebih dalam dari ikan. Dengan akal itu pula manusia mampu menggali kekayaan alam yang disimpan Allah jauh di dalam perut bumi. Dengan kemampuan akal itu pula manusia dapat menghapal ribuan ayat Al Qur'an dan Hadist yang dapat mereka jadikan pedoman demi keselamatan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akherat. Jangan sia-siakan akal, mari kita manfaatkan semaksimalnya untuk memahami ayat-ayat Allah, mengimani dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, agar kita tidak termasuk penghuni jahannam